A. Definisi Nasakh dan Mansukh
1. Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa nasakh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti, menukar. Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut :
- Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
- Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy :
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
“mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”[1]
- Para ulama mutakaddimin memperluas pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu :[2]
a. Pembatalan hukum yan ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c. Penjelasan hukum yang datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat samara
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat.
- Para ulama muta’akhirin berpendapat nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahuku sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[3]
2. Pengertian Mansukh
Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفع الحكم [4] yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
B. Syarat, Macam Nasakh dan Mansukh
Dari kedua definisi diatas, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut :
a. Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasakh.
b. Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus)
c. Nasakh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
Syarat-syarat nasakh dan mansukh
1. yang dimansukhkan adalah hukum syara’
2. dalil yang menghapus hukum syara’ tersebut harus berupa dalil syara’ seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 59.
3. adanya tenggang waktu antara nasakh dan mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang berurut (gandeng ayat).
Contoh :
ثم اتموالصيام bukan merupakan mansukh dari kalimat إلى الليل (yang dianggap nasikh).
Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh melainkan takhsis.
4. antara dua dalil nasakh dan mansukh adanya pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa dikompromikan.
Macam-macam nasakh dan mansukh
1. Nasakh Badal (nasakh yang ada penggantinya), terbagi menjadi tiga :
- Nasakh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan)
- Nasakh mumatsil (pengganti serupa)
- Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)
2. Nasakh Ghairu Badal (nasakh yang tidak ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
3. Nasakh hukum dan tilawah (bacaan), kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga tidak ada dijumpai lagi dalam al-Qur’an.
4. Nasakh hukum tanpa tilawah artinya teks ayat masih ada hanya hukumnya saja yang diganti.
5. Nasukh tilawah tanpa hukum, maksudnya hukumnya tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya.[5]
6. Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh kali (H.R. Bukhori dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
7. Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama, menurut ulama’ Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
8. Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari’atkan menurut kesepakatan ulama’ dikatakan nasakh tetapi mereka tidak memberikan contohnya.
Menurut jenisnya nasakh dan mansukh dibagi menjadi :
1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh ini telah disepakati oleh jumhur ulama. Contoh nasakh ini banyak sekali seperti surat al-Mujadilah ayat : 12 dinasakh oleh surat al-Mujadilah ayat 13.
2. Nasakh al-Qur’an dengan sunnah, ada dua macam :
a. Nasakh al-Qur’an dengan hadits ahad, jumhur tidak membolehkan hal ini karena al-Qur’an mutawattir dan hadits ahad mengandung dzanni.
b. Nasakh al-Qur’an dengan hadits mutawattir, hal ini dibolehkan oleh sebagian ulama, karena al-Qur’an dan sunnah mutawattir sama-sama wahyu.
3. Nasakh sunnah dengan al-Qura’an
Nasakh ini disepakati dan dibolehkan oleh jumhur ulama’ contohnya seperti berpuasa pada hari asyuro yang ditetapkan berdasarkan sunnah yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Aisyah r.a.
4. Nasakh sunnah dengan sunnah, terbagi menjadi 4 :
a. Nasakh mutawattir dengan mutawattir
b. Nasakh ahad dengan ahad
c. Nasakh ahad dengan mutawattir
d. Nasakh mutawattir dengan ahad.
Tiga bagian pertama dibolehkan, adapun yang ke empat terdapat khilaf, tetapi jumhur tidak membolehkan hal ini.[6]
C. Kemungkinan Terjadinya Nasakh dan Mansukh
Pendapat para jumhur ulama mengenai kemungkinan terjadinya nasakh dan mansukh.
1. Secara akal dan pandangan mungkin terjadi
Pendapat ini merupakan ijma’ kaum muslimin/jumhur ulama tidak ada perselisihan diantara para ulama tentang diperbolehkannya nasakh al-Qur’an dengan hadits.
Dalil mereka surat al-Baqarah ayat 106 yang artinya: “apa saja ayat kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia)lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya”. (Q.S. Al-Baqarah : 106). Dan An-Nahl ayat 101 yang artinya : “dan apabila kami letakkan suatu ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui yang diturunkannya”. (Q.S. An-Nahl : 101).
2. Secara akal maupun pandangan tidak mungkin terjadi
Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar datang dari kaum nasrani masa sekarang yang menyerang islam dengan dalih bahwa nasakh itu tidak mempunyai hikmah dan tidak beralasan, bahkan hal nasakh akan diketahui setelah kejadian itu sudah terjadi (sebelumnya tidak diketahui).
Tidak benar kalau mereka (yahudi dan nasrani) mengatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah adalah sia-sia dengan kata lain tidak beralasan. Hal tesebut berlawanan dengan sifat Allah SWT, Allahlah yang mengetahui semua.
3. Secara akal mungkin namun secara pandangan tidak mungkin terjadi.
Pendapat ini merupakan pendapat golongan Inaniyah dari kaum yahudi dan pendirian Abu Muslim Ashifani. Mereka mengetahui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi mereka mengatakan nasakh dilarang dalam Syara’ Abu Muslim Al-Asyifani dan orang-orang yang setuju dengan pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur’an surat Al-Fushilat ayat 42 yang artinya : “yang datang kepadanya ( al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun belakang”.
Cara mengetahui nasakh dan mansukh
Untuk mengetahui nasakh dan mansukh bisa dilakukan dengan cara :
1. ada keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti perkataan Nabi, “ayat ini dinasakh dengan ayat ini”. Atau seperti hadits nabi.
2. harus ada kesepakatan dari ijma’ para imam antara ayat yang dinasakh dan yang dimansukh, seperti nasakh ayat puasa as-Syura dengan puasa ramadhan.
3. mengetahui dari salah satu nash, mana yang pertama dan mana yang kedua ditinjau dari sejarah.[7]
History nasakh dan mansukh
Nasakh dan mansukh hanya terjadi ketika nabi Muhammad masih hidup, karena nasakh tidak terjadi kecuali dengan jalan syari’ah, dan suatu syari’ah tidak akan diketahui kecuali dengan wahyu, sedangkan wahyu hanya ada ketika Rosulullah masih hidup, adapun setelah beliau wafat, maka tidak ada lagi nasakh pada suatu hukum[8]
Urgensi mengetahui nasakh dan mansukh
Menurut Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibilitas hukum islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’i maka datang tahap berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.
Perbedaan dan persamaan nasakh dengan takhsis
- Persamaan : terletak pada fungsinya yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum
- Perbedaan :
· Takhsis membatasi jumlah afradul amm sedangkan nasakh membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru.
· Takhsis hanya masuk pada dalil amm, nasakh bisa masuk pada dalil amm dan dalil khash
· Takhsis hanya masuk pada hukum saja, nasakh dapat masuk pada hukum dan membatalkan berita dusta.
Rukun nasakh
1. Adat an-Nasakh, yaitu pernyataan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasakh adalah dalil yang kemudian menghapus hukum yang telah ada.
3. Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
[1] Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : MIzan, 1992), Hal. 114
[3] Ibid
[4] Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004, hal. 224.
[5] Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Op. Cit, Hal 198
[6] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 230
[7] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 226
[8] DR. Wabah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islamy, Dar. Al-Fikr Damsyiq, Jilid 2, hal. 288