Minggu, 01 Januari 2012

Nasakh Mansukh dalam al-Qur'an



A.    Definisi Nasakh dan Mansukh
1.      Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa nasakh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti, menukar. Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut :
-          Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
 “Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
-          Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy :
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
 “mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”[1]
-          Para ulama mutakaddimin memperluas pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu :[2]
a.       Pembatalan hukum yan ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c.       Penjelasan hukum yang datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat samara
d.      Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat.
-          Para ulama muta’akhirin berpendapat nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang  kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahuku sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[3]
2.      Pengertian Mansukh
Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفع الحكم [4] yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

B.     Syarat, Macam Nasakh dan Mansukh
Dari kedua definisi diatas, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut :
a.  Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasakh.
b.      Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus)
c.       Nasakh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
Syarat-syarat nasakh dan mansukh
1.      yang dimansukhkan adalah hukum syara’
2.    dalil yang menghapus hukum syara’ tersebut harus berupa dalil syara’ seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 59.
3.      adanya tenggang waktu antara nasakh dan mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang berurut (gandeng ayat).
Contoh :
ثم اتموالصيام bukan merupakan mansukh dari kalimat إلى الليل (yang dianggap nasikh).
Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh melainkan takhsis.
4.      antara dua dalil nasakh dan mansukh adanya pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa dikompromikan.
Macam-macam nasakh dan mansukh
1.      Nasakh Badal (nasakh yang ada penggantinya), terbagi menjadi tiga :
-          Nasakh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan)
-          Nasakh mumatsil (pengganti serupa)
-          Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)
2.      Nasakh Ghairu Badal (nasakh yang tidak ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
3.      Nasakh hukum dan tilawah (bacaan), kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga tidak ada dijumpai lagi dalam al-Qur’an.
4.      Nasakh hukum tanpa tilawah artinya teks ayat masih ada hanya hukumnya saja yang diganti.
5.      Nasukh tilawah tanpa hukum, maksudnya hukumnya tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya.[5]
6.      Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh kali (H.R. Bukhori dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
7.      Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama, menurut ulama’ Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
8.      Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari’atkan menurut kesepakatan ulama’ dikatakan nasakh tetapi mereka tidak memberikan contohnya.
Menurut jenisnya nasakh dan mansukh dibagi menjadi :
1.      Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh ini telah disepakati oleh jumhur ulama. Contoh nasakh ini banyak sekali seperti surat al-Mujadilah ayat : 12 dinasakh oleh surat al-Mujadilah ayat 13.
2.      Nasakh al-Qur’an dengan sunnah, ada dua macam :
a.       Nasakh al-Qur’an dengan hadits ahad, jumhur tidak membolehkan hal ini karena al-Qur’an mutawattir dan hadits ahad mengandung dzanni.
b.      Nasakh al-Qur’an dengan hadits mutawattir, hal ini dibolehkan oleh sebagian ulama, karena al-Qur’an dan sunnah mutawattir sama-sama wahyu.
3.      Nasakh sunnah dengan al-Qura’an
Nasakh ini disepakati dan dibolehkan oleh jumhur ulama’ contohnya seperti berpuasa pada hari asyuro yang ditetapkan berdasarkan sunnah yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Aisyah r.a.
4.      Nasakh sunnah dengan sunnah, terbagi menjadi 4 :
a.       Nasakh mutawattir dengan mutawattir
b.      Nasakh ahad dengan ahad
c.       Nasakh ahad dengan mutawattir
d.      Nasakh mutawattir dengan ahad.
Tiga bagian pertama dibolehkan, adapun yang ke empat terdapat khilaf, tetapi jumhur tidak membolehkan hal ini.[6]

C.    Kemungkinan Terjadinya Nasakh dan Mansukh
Pendapat para jumhur ulama mengenai kemungkinan terjadinya nasakh dan mansukh.
1.      Secara akal dan pandangan mungkin terjadi
Pendapat ini merupakan ijma’ kaum muslimin/jumhur ulama tidak ada perselisihan diantara para ulama tentang diperbolehkannya nasakh al-Qur’an dengan hadits.
Dalil mereka surat al-Baqarah ayat 106 yang artinya: “apa saja ayat kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia)lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya”. (Q.S. Al-Baqarah : 106). Dan An-Nahl ayat 101 yang artinya : “dan apabila kami letakkan suatu ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui yang diturunkannya”. (Q.S. An-Nahl : 101).
2.      Secara akal maupun pandangan tidak mungkin terjadi
Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar datang dari kaum nasrani masa sekarang yang menyerang islam dengan dalih bahwa nasakh itu tidak mempunyai hikmah dan tidak beralasan, bahkan hal nasakh akan diketahui setelah kejadian itu sudah terjadi (sebelumnya tidak diketahui).
Tidak benar kalau mereka (yahudi dan nasrani) mengatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah adalah sia-sia dengan kata lain tidak beralasan. Hal tesebut berlawanan dengan sifat Allah SWT, Allahlah yang mengetahui semua.
3.      Secara akal mungkin namun secara pandangan tidak mungkin terjadi.
Pendapat ini merupakan pendapat golongan Inaniyah dari kaum yahudi dan pendirian Abu Muslim Ashifani. Mereka mengetahui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi mereka mengatakan nasakh dilarang dalam Syara’ Abu Muslim Al-Asyifani dan orang-orang yang setuju dengan pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur’an surat Al-Fushilat ayat 42 yang artinya : “yang datang kepadanya ( al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun belakang”.
Cara mengetahui nasakh dan mansukh
Untuk mengetahui nasakh dan mansukh bisa dilakukan dengan cara :
1.      ada keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti perkataan Nabi, “ayat ini dinasakh dengan ayat ini”. Atau seperti hadits nabi.
2.      harus ada kesepakatan dari ijma’ para imam antara ayat yang dinasakh dan yang dimansukh, seperti nasakh ayat puasa as-Syura dengan puasa ramadhan.
3.      mengetahui dari salah satu nash, mana yang pertama dan mana yang kedua ditinjau dari sejarah.[7]
History nasakh dan mansukh
Nasakh dan mansukh hanya terjadi ketika nabi Muhammad masih hidup, karena nasakh tidak terjadi kecuali dengan jalan syari’ah, dan suatu syari’ah tidak akan diketahui kecuali dengan wahyu, sedangkan wahyu hanya ada ketika Rosulullah masih hidup, adapun setelah beliau wafat, maka tidak ada lagi nasakh pada suatu hukum[8]
Urgensi mengetahui nasakh dan mansukh
Menurut Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibilitas hukum islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’i maka datang tahap berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.
Perbedaan dan persamaan nasakh dengan takhsis
-          Persamaan : terletak pada fungsinya yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum
-          Perbedaan  :
·         Takhsis membatasi jumlah afradul amm sedangkan nasakh membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru.
·         Takhsis hanya masuk pada dalil amm, nasakh bisa masuk pada dalil amm dan dalil khash
·         Takhsis hanya masuk pada hukum saja, nasakh dapat masuk pada hukum dan membatalkan berita dusta.
Rukun nasakh
1.      Adat an-Nasakh, yaitu pernyataan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.      Nasakh adalah dalil yang kemudian menghapus hukum yang telah ada.
3.      Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.      Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.


[1] Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176
[2] Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : MIzan, 1992), Hal. 114
[3] Ibid
[4] Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004, hal. 224.
[5] Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Op. Cit, Hal 198
[6] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 230
[7] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 226
[8] DR. Wabah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islamy, Dar. Al-Fikr Damsyiq, Jilid 2, hal. 288

Kedudukan Hadits Sholat Taubat




Hadits sholat taubat

Dalam sebuah hadits diriwayatkan;
 حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ أَسْمَاءَ بْنِ الْحَكَمِ الْفَزَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عَلِيًّا كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ قَالَ كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا نَفَعَنِي اللَّهُ بِهِ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِي مِنْهُ وَإِذَا حَدَّثَنِي غَيْرُهُ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَّقْتُهُ وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ تَلَا وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ
Artinya : Dari Aly dari Abu Bakar as-Shidiq ia berkata; Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; siapapun dari hamba yang beriman, ia melakkan sebuah dosa, kemudian ia berwhudhu’ dan ia membaguskan wudhu’nya kemudian ia sholat dua rakaat, lalu ia meminta ampun kepada Allah, maka Allah akan ampunkan dosanya. Kemudian beliau membacakan ayat; ” Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri., mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Qs; Al-Imran 135).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahamad dalam musnadnya :I:2,9,10. dan al-Maruzie dalam musnad Abi Bakr no. 9, 10. at-Thoyalisie : II : 78 .  Imam Tirmidzie dalam kitab us-Sholat : 409 dan kitab ut-Tafsir : 3009.   Ibnu Jarir dalam Jami’ul-Bayan 7852/7854, Ibnu Majah dalam iqamatis sholat wa sunan fiha, dengan sanad ghorib, memalui Utsman bin Abi Zur’ah, dari Aly bin Rabi’ah dari Asma’ bin al-Hakim al-Fazarie dari Aly bin Abi Tholib, dari Abu Bakr as-Shidik.
Hadits ini juga akan kita dapatkan dalam tafsir al-Thobarie, al-Qurthubie, Ibnu Katsir, dan Dur Mansur oleh imam as-Syuyutie, dalam tafsir surah Aly Imran 135.

Dirasah sanad
Dalam sanad hadits tersebut ada sedikit pembicaraan berkenaan dengan seorang rawi yang bernama  Asma’ bin al-Hakim al-Fazarie, beberapa ulama berselisih tentangnya, Imam ad-Dzahabi mentsiqotkan, Ibnu Hibban mengatakan; ia adalah seorang yang tsiqoh namun sering salah dalam meriwayatkan dengan demikian Asma’ bin al-Hakim al-Fuzarie  adalah seorang yang terdapat kelemahan pada hafalannya. Imam Bukhorie menulisnya dalam Tarikhul-Kabir dan tidak memberikan komentar (Jarh wa Ta’dil)[1], Ibnu hajr berpendapat sanad hadits ini maqbul[2] (dpt diterima) . al-Mizzie dalam tahdzibul kamal menjelaskan sebab kontroversialnya Asma’ bin al-Hakim al-Fuzarie, adalah disebabkan sediktnya ia dalam meriwayatkan hadits[3]. Imam as-Syuyutie meng-hasankan, dan Imam as-Syaukani men-shohihkanya.[4]
Hadits tersebut dapat dikatagorikan sebagai hadits mastur (mengikut pengistilahan beberapa ulama’ seperti ; Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, ibn katsir dalam tafsirnya I : 242) disebabkan  salah satu diantara rowi dalam rentetan sanad hadits terebut terdapat seorang  rowi, yang namanya ditulis oleh ulama jarh wa ta’dil, namun tidak diberikan komentar, berupa jarh (celaan) ataupun ta’dil (pujian).
Para muhaditsin dan ulama’ yang menekuni ilmu rijal berbeda pendapat dalam mensikapinya. Jumhur ulama’ menerima perowi dalam bentuk yang seperti ini, mereka berhujjah dengan al-aslu baroatut-dimmah, seseorang tidak bisa dianggap lemah kecuali sudah ada bukti dan kesaksian atas kelemahannya. Jika seorang rowi ditulis oleh Ibnu ‘Adi dalam kitab jarh wa ta’dil-nya ataupun imam Bukhori dalam tarikh-nya maka diamnya dua imam tersebut adalah sebagai bentuk ta’dil (pujian)l atas rowi yang ditulisnya, sebab kebiasaan mereka adalah menulis jarh (celaan) jika memang ada pada seseorang, namun jika tidak, maka diamnya mereka adalah teranggap sebagai bentuk ta’dil[5].
Ibnu al-Qatthan manganggap kekosongan jarh atau ta’dil (dengan ditulisnya nama seorang rowi, dan tanpa diberikan komentar atasnya baik itu berupa jarh maupun ta’dil), sebagai bentuk tajhil (bentuk isyarat bahwa perowi tersebut tidak dikenal perihal dan kedudukannya).[6]
Sedangkan Ibnu Daqieq al-Ied terkadang sepakat dan mengambil jalan Ibnu al-Qothon, dan terkadang juga mengambil jalan dan sepakat dengan jumhur. Dengan berbagai pertimbangan, yakni melihat kitab para ulama’ jarkh wa ta’dil yang lainya. Maka jika seseorang masuk dalam kitab yang memuat deretan nama perowi yang dianggap tsiqot, atau tidak didapatinya nama perowi tersebut dalam kitab yang terkumpul didalamnya nama-nama orang yang lemah atau maudhu’at, maka diamnya Imam bukhori dan Ibnu Adi teranggap sebagai bentuk ta’dil[7]
Syawahid (hadits-hadits pendukung) sholat taubat
Jika kita telaah dengan seksama, maka kita akan temukan banyak syawahid mengenai dua hadits tersebut, dan diantara hadits yang ada memiliki hubungan matan yang sangat kuat, dilihat dari susunan matanya.
Terdapat hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan juga ad-Darimi, sebagai berikut berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ      (متفق عليه)
Artinya : … (dalam hadits yang panjang) kamudian Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: barang siapa yang berwudhu’ seperti wudhu’ku yang ini, lalu sholat dua rakaat, dan ia tidak bercakap-cakap antara whudhu’ dan sholatnya, maka Allah akan ampunkan dosanya.[8]
عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب- رضي الله عنه- عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ما منكم من أحد يتوضأ فيبلغ- أو فيسبغ- الوضوء، ثم يقول: أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أنّ محمداً عبده ورسوله، إلا فتحت له أبواب الجنة الثمانية، يدخل من أيها شاء”  ( رواه مسلم في صحيحه والترمذي، وزاد اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين).
Artinya : dari Amirul Mu’minin umar bin al-Khatab ra. Dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :” barangsiapa diantara kalian yang berwudhu’ dan menyempurnakan wudhu’nya lalu mengucapkan dua kalimat syahadat, maka akan dibukakan baginya pintu-pintu surga, dan ia dipersilahkan untuk masuk dari mana yang ia suka[9]. (HSR. Muslim dan at-Tirmidzi dengan tambahan do’a sebagaimana tercantum) 
عن أمير المؤمنين عثمان بن عفان- رضي الله عنه- أنه توضأ لهم وضوء النبي صلى الله عليه وسلم ثم قال: سمعت رسول الله يقول: ” من توضأ نحو وضوئي هذا ثم صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر له ما تقدم من ذنبه ” (متفق عليه)
Artinya : dari amirul mu’minin Uthman bin Affan ra, sesungguhnya beliau mencontohkan kepada orang-orang bagaimana wudhu’nya nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata’ “aku mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :” barangsiapa yang berwudhu’ seperti wudhu’ku ini kemudian sholat dua rakaat, tidak berkata kata antara wudhu’ dan sholat, maka akan Allah ampunkan dosanya.[10]  
عبد الله بن بريدة عن أبيه- رضي الله عنه- قال: أصبح رسول الله يوماً فدعا بلالاً، فقال: “يابلال بم سبقتني إلى الجنة؟ إني دخلت البارحة الجنة فسمعت خشخشتك أمامي” فقال بلال: “يا رسول الله ما أذنبت قط إلا صليت ركعتين، وما أصابني حدث قط إلا توضأت عندها. فقال رسول الله   صلى الله عليه وسلم: “بهذا“  .

Artinya : dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ra, suatu hari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pagi-pagi dan kemudian memanggil Bilal radhialloh dan bersabda ; Wahai Bilal dengan apakah engkau telah mendahului aku di sorga? Sesungguhnya aku masuk masuk ke dalam padang surga yang termat luas adan aku mendengarkan suara… mu dihadapanku. Bilal pun menjawab : wahai Rasulullah aku tidak mengumandangkan adzan kecuali aku telah sholat dua rakaat, dan jika aku mendapat hadats, aku langsung berwudhu. maka Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:” dengan ini (isayarat faham kepada masalah yang menyebabkan Bilal ….nya sudah berada disurga).[11]


Pendapat para ahli tafsir
             Kami rasa penting menyebutkan pendapat pada mufasir, sebab diantara tafsir ada yang disebut dengan tafisir bi riwayat, dalam tarsir yang demikian kita akan mendapatkan keterangan korelasi antara ayat al Qur’an dan sunnah.
            Imam Ibnu Katsir menyebut hadit yang dijadikan sandaran dalam sholat taubat dalam tafsirnya surat aliu Imran ayat :135 , dan memperkuat dengan riwayat Imam Bukhori dan Muslim sebagaimana yang kami sebutkan dalam syawahid. Demikian juga Imam as-Syaukani dalam Fath ul Qadir menyebutkan hadits tersebut dalam tafsirnya tentang surat ali Imran ayat 135. hal yang sama juga akn kita temukan dalam Dur al Mansur oleh imam as-Syuyuthi, dan at-thobari, Dll.

Pendapat para ahli fiqh
             Selain pendapat mufasir yang penting untuk diperhatikan juga adalah pendapat para ahli fiqh, sebab degan melihat berbagai istidlal yang digunakan semakin memantapkan hati kita dalam satu permasalahan.
         Syekh Abdul Qadir al Jailani memberikan judul khusus dalam al Ghunyah tetntang shalat taubat dari deretan sholat sunnah, dengan mengunakan dalil hadits yang kami sebutkan diawal.
         Ibnu Qudamah al Maqdisi dalam al Mughnie (pasal sholat taubat) menggunakan dalil riwayat Abu Bakar as Shidiq sebagaimana yang telah kami sebutkan sebagai sebagai dalil akan disyariatkannya shalat taubat. Kemudian beliau menambahkan ” dan yang paling penting adalah bahwa taubat, istighfar dan doa selalu saja teriring dalam setiap sholat. Sedangkan do’a dan permohonan ampun dengan didahului amal kebaikan seperti sholat dan bacaan al Qur an sangat diharapkan untuk dikabulkan”.
        Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnah juga memberikan judul tersendiri tetntang shalat taubah dari deretan shalat sunnah dengan menggunakan dalil yang sama sebagaimana yang kami sebutkan diawal.
         Sedangkan DR. Wahbah Zuhaili nampak berbeda diantara yang lainnya. Dalam fiqh islami wa adillatuha yang ditulis oleh beliau mengunakan hadits berikut sebagai dasar di sunnahkanya shalat setelah berwudhu[12] :
  عن أمير المؤمنين عثمان بن عفان- رضي الله عنه- أنه توضأ لهم وضوء النبي صلى الله عليه وسلم ثم قال: سمعت رسول الله يقول: ” من توضأ نحو وضوئي هذا ثم صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر له ما تقدم من ذنبه ” (متفق عليه)
Artinya : dari amirul mu’minin Uthman bin Afan ra, sesungguhnya beliau mencontohkan kepada orang-orang bagaimana wudhu’nya nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata’ “aku mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :” barangsiapa yang berwudhu’ seperti wudhu’ ku ini kemudian sholat dua rakaat, tidak berkata kata antara wudhu’ dan sholat, maka akan Allah ampunkan dosanya.[13]

[1] Tarikhul-Kabir oleh imam Bukhorie : 2 : 1 : 54
[2] Tahdzib at-Tahdzib : I : 267
[3] Tahdzibul kamal fi asma’ir rijal : II : 533
[4] Lihat al-fawaid al-majmu’ah. II: 55, dan pada foot notenya ke 3
[5] Imam Abi al-Hasanad Muhammad bin al-Hayyi al-Laknawi al-Hindie, dalam ar-Raf’u wat-Takmil fi jarh wa ta’dil, hal 230-231.
[6] Imam Abi al-Hasanad Muhammad bin al-Hayyi al-Laknawi al-Hindie.dalam ar-Raf’u wat-Takmil fi jarh wa ta’dil, hal : 231.
[7] Imam Abi al-Hasanad Muhammad bin al-Hayyi al-Laknawi al-Hindie.dalam ar-Raf’u wat-Takmil fi jarh wa ta’dil,. hal 233-234.
[8] Lihat al-Lu’lu’ wal marjan no : 130
[9] Muslim, thaharah no. 17, Ahmad, juz 4; 145, 146, 153, tirmidzi (Ibnu Hajar, Bulughul Maram, tahrij hadits oleh alBani dan Abdullah al-Bassam no. 52)  
[10] Bukhorie, Muslim, Ahmad, Abu Daud, an-Nasaie, al-Baihaqie, Ibnu Khuzaimah, Abu Awanah dalam musnadnya, ad-Darimie, al-Baghowi dalam syarkh sunnah. (Ibnu Qudamah, al-mukharor fi al- hadits, tahrij oleh Khalid Dhoif-ullah no. 34) 
[11] HR. Ahmad, at-Tirmidzie, Ibnu Khuzaimah, Ibnnu Hibban, dan al-Baghowi dalam syarkhu sunnah (Ibnu Qudamah, al-mukharor fi al- hadits, tahrij oleh Khalid Dhoif-ullah no. 58) 

[12] Wahbah Zuhaili. DR. fiqh ul islami wa adillatuha, hal 1062
[13] Sebagaimana yang kami sebutkan dalam syawahid.

CONTOH KARYA TULIS ILMIAH POPULER TENTANG SUMBER ENERGI RAMAH LINGKUNGAN


PENDAHULUAN
 Dengan semakin majunya peradaban manusia akan menuntut semakin banyak aktifitas manusia yang akan dilakukan di muka bumi demi tujuan pemenuhan kebutuhan hidup. Hampir semua aktifitas tersebut menyebabkan penambahan emisi gas rumah kaca. Akibat penggunaan bahan bakar fosil dalam jangka panjang ternyata telah memberikan akibat negatif terhadap kehidupan di dunia. Hasil penelitian dari sekelompok peneliti di bawah naungan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), panel antar pemerintah tentang perubahan iklim, menyebutkan penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam telah menyumbangkan cukup besar pencemaran gas efek rumah kaca yaitu karbondioksida ke atmosfer bumi yang mempunyai pengaruh besar dalam proses pemanasan global. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menghambat pemanasan global yang telah diikrarkan dalam “Protokol Kyoto” tahun 1997 adalah mengurangi emisi gas efek rumah kaca.
(Gagasan Utama). Bioenergi menjadi salah satu hal yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi pengganti yang ramah lingkungan dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak yang mahal dan terbatas. (Kalimat Penjelas) Bioenergi selain dapat dihasilkan dari tanaman yang memang sengaja dibudidayakan untuk produksi bioenergi juga dapat diusahakan dari pengolahan limbah yang dihasilkan dari aktifitas kehidupan manusia. Sehingga, diharapkan selain dapat mengurangi emisi gas efek rumah kaca juga mengurangi masalah lingkungan dan meningkatkan nilai dari limbah itu sendiri. Salah satu limbah yang dihasilkan dari aktifitas kehidupan manusia adalah limbah dari usaha peternakan sapi yang terdiri dari feses, urin, gas dan sisa makanan ternak. Limbah peternakan khususnya ternak sapi merupakan bahan buangan dari usaha peternakan sapi yang selama ini juga menjadi salah satu sumber masalah dalam kehidupan manusia sebagai penyebab menurunnya mutu lingkungan melalui pencemaran lingkungan, menggangu kesehatan manusia dan juga sebagai salah satu penyumbang emisi gas efek rumah kaca. Pada umumnya limbah peternakan hanya digunakan untuk pembuatan pupuk organik. Untuk itu sudah selayaknya perlu adanya usaha pengolahan limbah peternakan menjadi suatu produk yang bisa dimanfaatkan manusia dan bersifat ramah lingkungan. Pengolahan limbah peternakan melalui proses fermentasi perlu digalakkan karena dapat menghasilkan biogas yang menjadi salah satu jenis bioenergi. Pengolahan limbah peternakan menjadi biogas ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak yang mahal dan terbatas, mengurangi pencemaran lingkungan dan menjadikan peluang usaha bagi peternak karena produknya terutama pupuk kandang banyak dibutuhkan masyarakat.
Sumber daya energi mempunyai peran penting dalam semua aspek pembangunan ekonomi nasional. Energi diperlukan untuk pertumbuhan kegiatan industri, jasa, perhubungan dan rumah tangga. Dalam jangka panjang, peran energi akan lebih berkembang untuk mendukung pertumbuhan sektor industri dan kegiatan lain yang terkait. Meskipun Indonesia adalah salah satu negara penghasil batu bara, minyak bumi dan gas, namun dengan berkurangnya cadangan minyak dan penghapusan subsidi menyebabkan harga minyak naik dan kualitas lingkungan yang menurun akibat penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan. Pemanasan global memberikan dampak sangat buruk pada keseimbangan kehidupan manusia antara lain menyebabkan iklim tidak stabil, peningkatan suhu permukaan laut, suhu keseluruhan dunia akan cenderung meningkat, gangguan tersebut berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Kondisi ini sangat memprihatinkan, ketergantungan terhadap sumber energi tidak dapat dihindarkan, dengan semakin majunya peradaban manusia maka kebutuhan akan sumber energi dalam setiap sektor kehidupan sangatlah besar. Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap bahan bakar minyak sangatlah besar. Semakin melambungnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), akibat tingginya harga BBM di pasar dunia sangat memberatkan masyarakat terutama bagi masyarakat yang berada di daerah pedalaman yang merupakan kantong-kantong masyarakat miskin karena harga BBM di lokasi ini bisa naik 2 – 8 kali lipat lebih tinggi dari harga di perkotaan. Belum lagi masalah BBM selesai, masalah listrik mencuat pula. Pemadaman listrik bergiliran menjadi konsumsi masyarakat di beberapa daerah. Perusahaan Listrik Negara (PLN) dihadapkan kepada masalah kesulitan membeli batu bara sebagai bahan bakar penggerak pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN.
Kelangkaan batu bara untuk usaha listrik ini terjadi karena produksi batu bara Indonesia yang melimbah sebagian besar justru diekspor ke luar negeri.  Sudah saatnya Indonesia mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak dengan mengembangkan sumber energi pengganti yang ramah lingkungan dan terbaru. Salah satu jenis bahan bakar pengganti yang dimaksud adalah bioenergi. Bioenergi selain bisa diperbaharui bersifat ramah lingkungan, dapat terurai, mampu mengurangi efek rumah kaca dan terus-menerus, dan bahan baku cukup terjamin. Bahan baku bioenergi dapat diperoleh dengan cara sederhana yaitu melalui budidaya tanaman penghasil biofuel dan memanfaatkan limbah yang ada di sekitar kehidupan manusia.
(Kalimat Pengembang) Indonesia memiliki banyak sumber daya alam hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bionergi. Pengembangan bioenergi sebagai sumber energi pengganti sangat cocok digunakan karena didukung dengan oleh ketersediaan lahan yang mencukupi untuk membudidayakan tanaman dan ternak penghasil biofuel. Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian. Kondisi ini memungkinkan untuk pengusahaan berbagai jenis tanaman, termasuk komoditas penghasil bioenergi. Dan beberapa bahan baku bioenergi adalah kelapa sawit, sagu, kelapa, ubi kayu, jarak pagar, tebu, jagung dan limbah peternakan. Gas metan ini sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan proses fermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan gas metan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta (1776). Hasil identifikasi gas yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806 dan Becham (1868) murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882) adalah orang pertama yang memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan gas metan. Gas ini berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses fermentasi. Biogas yang terbentuk dapat dijadikan bahan bakar karena mengandung gas metan dalam persentase yang cukup tinggi. Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat menjawab kebutuhan akan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah dari pupuk cair dan padat yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi efek rumah kaca. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pengganti dapat mengurangi penggunaan kayu bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha penebangan hutan, sehingga kehidupan hutan terjaga. Biogas menghasilkan api biru yang bersih dan tidak menghasilkan asap. Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan kerena produksi biogas peternakan ditunjang oleh kondisi yang memungkinkan dari perkembangkan dunia peternakan sapi di Indonesia saat ini. Disamping itu, kenaikan tarif listrik, kenaikan harga LPG, premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber energi elternatif yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Peningkatan kebutuhan susu dan pencanangan swasembada daging tahun 2010 di Indonesia telah merubah pola pengembangan agribisnis peternakan dari skala kecil menjadi skala menengah/besar. Di beberapa daerah telah berkembang koperasi susu, peternakan sapi pedaging melalui kerjasama dengan perkebunaan kelapa sawit dan sebagainya. Kondisi ini mendukung ketersediaan bahan baku biogas secara terus-menerus dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi biogas. Ada beberapa keuntungan penggunaan kotoran ternak sebagai penghasil biogas yaitu, mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran udara (bau), memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat digunakan sebagai energi pengganti untuk keperluan rumah tangga, mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi kegiatan rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak, melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas untuk menjadi energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum memiliki akses listrik. melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya kegiatan ini sebagai usulan untuk mekanisme pembangunan bersih.



Terdapat sepuluh faktor yang dapat mempengaruhi pemanfaatan kotoran ternak sapi menjadi biogas yaitu:
1.      Ketersediaan ternak
Jenis jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat menjadi potensi bagi pengembangan biogas. Hal ini karena biogas dijalankan dengan memanfaatkan kotoran ternak. Kotoran ternak yang dapat diproses menjadi biogas berasal dari ternak ruminansia dan non ruminansia seperti sapi potong, sapi perah serta unggas. Jenis ternak mempengaruhi jumlah kotoran yang dihasilkannya. Untuk menjalankan biogas skala individual atau rumah tangga diperlukan kotoran ternak dari 3 ekor sapi, atau 7 ekor babi, atau 400 ekor ayam.
2.       Kepemilikan Ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi dasar pemilihan jenis dan kapasitas biogas yang dapat digunakan. Saat ini biogas kapasitas rumah tangga terkecil dapat dijalankan dengan kotoran ternak yang berasal dari 3 ekor sapi atau 7 ekor babi atau 400 ekor ayam. Bila ternak yang dimiliki lebih dari jumlah tersebut, maka dapat dipilihkan biogas dengan kapasitas yang lebih besar (berbahan fiber atau semen) atau beberapa biogas skala rumah tangga.
3.       Pola Pemeliharaan Ternak
Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas dapat berfungsi maksimal. Kotoran ternak lebih mudah didapatkan bila ternak dipelihara dengan cara dikandangkan dibandingkan dengan cara digembalakan.


4.       Ketersediaan Lahan
Untuk membangun biogas diperlukan lahan disekitar kandang yang luasannya bergantung pada jenis dan kapasitas biogas. Lahan yang dibutuhkan untuk membangun biogas skala terkecil (skala rumah tangga) adalah 14 m2 (7m x 2m). Sedangkan skala komunal terkecil membutuhkan lahan sebesar 40m2 (8m x 5m).
5.       Tenaga Kerja
Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja yang berasal dari peternak/pengelola itu sendiri. Hal ini penting mengingat biogas dapat berfungsi optimal bila pengisian kotoran ke dalam reaktor dilakukan dengan baik serta dilakukan perawatan peralatannya. Banyak kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak optimalnya biogas disebabkan karena: pertama, tidak adanya tenaga kerja yang menangani unit tersebut; kedua, peternak/pengelola tidak memiliki waktu untuk melakukan pengisian kotoran karena memiliki pekerjaan lain selain memelihara ternak.
6.       Manajemen Limbah/Kotoran
Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan komposisi padat cair kotoran ternak yang sesuai untuk menghasilkan biogas, jumlah pemasukan kotoran, dan pengangkutan atau pengaliran kotoran ternak ke dalam raktor. Bahan baku reaktor biogas adalah kotoran ternak yang komposisi padat cairnya sesuai yaitu 1 berbanding 2. Pada peternakan sapi perah komposisi padat cair kotoran ternak biasanya telah sesuai, namun pada peternakan sapi potong perlu penambahan air agar komposisinya menjadi sesuai. Jumlah pemasukan kotoran dilakukan secara berkala setiap hari atau setiap 2 hari sekali tergantung dari jumlah kotoran yang tersedia dan sarana penunjang yang dimiliki. Pemasukan kotoran ini dapat dilakukan secara manual dengan cara diangkut atau melalui saluran.

7.       Kebutuhan Energi
Pengelolaan kotoran ternak melalui proses reaktor an-aerobik akan menghasilkan gas yang dapat digunakan sebagai energi. Dengan demikian, kebutuhan peternak akan energi dari sumber biogas harus menjadi salah satu faktor yang utama. Hal ini mengingat, bila energi lain berupa listrik, minyak tanah atau kayu bakar mudah, murah dan tersedia dengan cukup di lingkungan peternak, maka energi yang bersumber dari biogas tidak menarik untuk dimanfaatkan. Bila energi dari sumber lain tersedia, peternak dapat diarahkan untuk mengolah kotoran ternaknya menjadi kompos atau kompos cacing (kascing).
8.       Jarak (kandang-reaktor biogas-rumah)
Energi yang dihasilkan dari biogas dapat dimanfaatkan untuk memasak, menyalakan petromak, menjalankan generator listrik, mesin penghangat telur/ungas dll. Selain itu air panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk proses sanitasi sapi perah. Pemanfaatan energi ini dapat maksimal bila jarak antara kandang ternak, reaktor biogas dan rumah peternak tidak telampau jauh dan masih memungkinkan dijangkau instalasi penyaluran biogas. Karena secara umum pemanfaatan energi biogas dilakukan di rumah peternak baik untuk memasak dan keperluan lainnya.
9.       Pengelolaan Hasil Samping Biogas
Pengelolaan hasil samping biogas ditujukan untuk memanfaatkannya menjadi pupuk cair atau pupuk padat (kompos). Pengeolahannya tergolong sederhana yaitu untuk pupuk cair dilakukan fermentasi dengan penambahan bioaktivator agar unsur haranya dapat lebih baik, sedangkan untuk membuat pupuk kompos hasil samping biogas perlu dikurangi kandungan airnya dengan cara diendapkan, disaring atau dijemur. Pupuk yang dihasilkan tersebut dapat digunakan sendiri atau dijual kepada kelompok tani setempat dan menjadi sumber tambahan pandapatan bagi peternak.
10.   Sarana Pendukung
Sarana pendukung dalam pemanfaatan biogas terdiri dari saluran air dan peralatan kerja. Sarana ini dapat mempermudah pengelolaan dan perawatan instalasi biogas. Saluran air dapat digunakan untuk mengalirkan kotoran ternak dari kandang ke reaktor biogas sehingga kotoran tidak perlu diangkut secara manual. Air digunakan untuk membersihkan kandang ternak dan juga digunakan untuk membuat komposisi padat cair kotoran ternak yang sesuai. Sedangkan peralatan kerja digunakan untuk mempermudah/meringankan pekerjaan /perawatan instalasi biogas.
(Kesimpulan) Indonesia sangat baik dalam pengembangan biogas, pada umumnya peternak sapi di Indonesia mempunyai rata- rata 2 – 5 ekor sapi dengan lokasi yang tersebar tidak berkelompok. Sehingga penanganan limbahnya baik itu limbah padat, cair maupun gas seperti kotoran maupun sisa pakan dibuang ke lingkungan sehingga menyebabkan pencemaran. Pengolahan limbah secara sederhana hanya dengan pemanfaatannya sebagai pupuk alami. Diketahui sapi dengan bobot 450 kg menghasilkan limbah berupa kotoran lebih kurang 25 kg per hari. Dan apabila tidak dilakukan penanganan secara baik maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan udara, tanah dan air serta penyebaran penyakit menular. Sehingga sangat diperlukan usaha untuk mengurangi dampak buruk dari kegiatan peternakan sapi salah satunya dengan melakukan penanganan yang baik terhadap limbah yang dihasilkan melalui biogas. Hasil biogas dari rata 3 – 5 ekor sapi tersebut setara dengan 1-2 liter minyak tanah/hari. Dengan demikian keluarga peternak yang sebelumnya menggunakan minyak tanah untuk memasak bisa menghemat penggunaan minyak tanah 1-2 liter/hari. Pemanfaatan biogas di Indonesia sebagai energi pengganti sangat memungkinkan untuk diterapkan di masyarakat, apalagi sekarang ini harga bahan bakar minyak yang makin mahal dan kadang-kadang langka keberadaannya. Besarnya limbah biomassa padat di seluruh Indonesia seperti kayu dari kegiatan industri pengolahan hutan, pertanian dan perkebunan; limbah kotoran hewan, misalnya kotoran sapi, kerbau, kuda, dan babi juga dijumpai di seluruh provinsi Indonesia dengan kualitas yang berbeda-beda. Teknologi biogas adalah suatu teknologi yang dapat digunakan dimana saja selama tersedia limbah yang akan diolah dan cukup air. Di negara maju perkembangan teknologi biogas sejalan dengan perkembangan teknologi lainnya. Untuk kondisi di Indonesia, teknologi biogas dapat dibangun dengan kepemilikan kelompok dan dipelihara secara bersama. 
Disamping itu, usaha lain yang dapat bergerak dengan kegiatan ini adalah peternakan cacing untuk pakan ikan dan unggas, industri tahu atau tempe dapat menghasilkan ampas tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan limbah cairnya sebagai bahan input produksi biogas. Industri kecil pendukung juga dapat berkembang, seperti industri bata merah, industri kompor gas, industri lampu penerangan, pemanas air dan sebagainya. Sehingga pengembangan teknologi biogas secara langsung maupun tidak langsung diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dipedesaan.

tafsir surat al-fatehah


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Surah Al-Fatihah (Arab: الفاتح , al-Fātihah, "Pembukaan") adalah surah pertama dalam al-Qur'an. Surah ini diturunkan di Mekah dan terdiri dari 7 ayat. Al-Fatihah merupakan surah yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap di antara surah-surah yang ada dalam Al-Qur'an. Surah ini disebut Al-Fatihah (Pembukaan), karena dengan surah inilah dibuka dan dimulainya Al-Quran. Dinamakan Ummul Qur'an (induk Al-Quran/أمّ القرءان) atau Ummul Kitab (induk Al-Kitab/أمّ الكتاب) karena dia merupakan induk dari semua isi Al-Quran. Dinamakan pula As Sab'ul matsaany (tujuh yang berulang-ulang/السبع المثاني) karena jumlah ayatnya yang tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam shalat.
Sepertia apa dan bagamana penafsiran tentang surat al-fatehah dapat berbeda atau saling melengkapi tergantung dari mana kita merujuk, untuk lebih lanjutnya tentang bagamana tafsir surat al-fatehah akan kitabahas dalam isi makalah selanjutnya.
Makalah ini adalah suatu ringkasan tentang tafsir surat al-fatehah yang mana tujuan pembuatannya sebagai bentuk pemenuhan tugas perkuliahan sebagaimana mestinya, namun disamping itu semoga dengan pembahasan ini kita mendapatkan taufik dan hidayahnya dalam mengarungi kehidupan baik mencari atau mengamalkan ilmu serta mu’amalah (hubungan sosial)
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Keutamaan Surat al-Fatehah?
2.      Bagamana Tafsir Surat al-Fatehah?

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Keutamaan Surat Al-Fatihah
1.      Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu).
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim).
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
2.      Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
B.     Tafsir Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
1.      Bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35).
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
2.      Bacaan Basmalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
3.      Penjelasan Kandungan Surat
a.      Ayat Pertama
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
b.      Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180).
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
c.       Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
d.      Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
e.      Ayat Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
f.        Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
g.      Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.\